BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagai teori atau konsep, civil society
sebenarnya sudah lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno,
Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa
modern. Dengan istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi
pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, istilah
tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti
Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci,
Hebermas.Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman,
M.Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun
kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi
lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai
keyakinan indifidu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Peradaban adalah istilah Indonesia sebagai
terjemahan dari civilization. Asal katanya adalah a-dlb yang artinya
adalah kehalusan? Refinement, pembawaan yang baik, tingkah laku yang baik,
sopan santun, tata-susila, kemanusiaan atau kesasteraan. Ungkapan lisan dan
tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan
bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya
tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan
tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk
mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun,
memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga
bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu
perjuangan yang gigih.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari
makalah ini yaitu :
1.
Apa itu masyarakat madani?
2.
Bagaimana sejarah dan
perkembangan masyarakat madani?
3.
Bagaimana karakteristik
masyarakat madani?
4.
Apa pilar penegak
masyarakat madani?
5.
Bagaimana hubungan
masyarakat madani dengan demokratisasi?
BAB II
MASYARAKAT MADANI
A. PENGERTIAN
MASYARAKAT MADANI
Dalam mendefinisikan terma Masyarakat Madani
ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena
bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari
sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.
Sebagai titik tolak, di sini akan dikemukakan
beberapa definisi masyarakat madani dari berbagai pilar di berbagai negara yang
menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini.
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbignew Rau dengan latar
belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan
perkeumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan
yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut
kewajiban mereka terhadap negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud masyarakat
madani adalah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara.
Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara dalam masyarakat madani ini
diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualisme, pasar (market)
dan pluralisme. Batasan yang dikemukakan oleh Rau ini menekankan pada adanya
ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integrasi sistem nilai
yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar (market)
dan pluralisme.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo dengan latar belakang
kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan
sukaela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan
isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang
menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan
terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Konsep yang dikemukakan oleh Ham ini,
menekankan pada adanya ruang publik (publik
sphere) serta mengandung 4 (empat) ciri dan prasyarat bagi terbentuknya
masyarakat madani, yaitu :
1.
diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan
berserikat serta mandiri dari negara.
2.
adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa
pun dalam mengartikulasikan isu-isu politik.
3.
terdapatnya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar
pada nilai-nilai budaya tertentu.
4.
terdapat kelompok inti di antara kelompok pertengahan
yang mengakar dalam masyarakat yang menyelenggarakan masyarakat dan melakukan
modernisasi sosial ekonomi.
Ketiga, defenisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam
konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat
madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara
mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang relatif
otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan
masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam satuan ruang
publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan
mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Definisi ini menekankan pada adanya
organisasi-organisasi kemasyarakat yang relatif memposisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan
negara. Ekspansi organisasi-organisasi ini mensyaratkan adanya ruan publik (public
sphere) yang memugkinkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
tertentu.
Di Indonesia, terma masyarakat madani
mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda
pula, seperti :
a.
masyarakat madani; konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali ini digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara
Festifal Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh
Anwar Ibrahim ini hendak menujukan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok
msyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadi
keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sistem.
Paradigma dengan pemilihan terma masyarakat
madani ini dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi, kota peradaban atau
masyarakat kota. Di sisi lain, pemaknaan Masyarakat Madani ini juga
dilandasi oleh konsep tentang Al-Mujtama’ Al-Madani yang diperkenalkan
oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia dan salah seorang pendiri Institute for Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), yang secara definitif masyarakat madani merupakan
konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar yakni masyarakat
yang beradab.
b.
masyarakat sipil; merupakan penurunan langsung dari terma civil
society. Istilah ini banyak dikemukakan oleh Mansour Fakih untuk
menyebutkan prasyarat masyarakat dan negara dalam rangka proses penciptan dunia
secara mendasar baru dan lebih baik.
c.
masyarakat kewargaan; konsep ini pernah digulirkan dalam sebuah
Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia XII di Kupang NTT. Acana ini
digulirkan oleh M. Ryas Rasyid dengan tulisannya “Perkembangan Pemikiran
Masyarakat Kewargaan”, Riswanda Immawan dengan karyanya “Rekruitmen
Kepemimpinan dalam Masyarakat Kewargaan dalam Politik Malaysia” Konsep ini
merupakan respon dari keinginan untuk menciptakan warga negara sebagai bagian
integral negara yang mempunyai andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan
negara (state).
d.
Civil Society; terma ini (dengan tidak menerjemahkannya)
merupakan konsep yang digulirkan oleh Muhammad AS. Hikam. Merupakan konsep civil
society yang merupakan warisan wacana yang berasal dari Eropa Barat, akan
lebih mendekati substansinya jika tetap disebutkan dengan istilah aslinya.
Menurutnya pengertian civil society (dengan konsep de ‘Tocquiville)
adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan
antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating),
dan keswadayaan (self-supporting), keandirian tinggi berhadapan dengan
negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti
oleh warga negaranya. Dan sebagai ruang politik, civil society yang
merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan
refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak
terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya
tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere).
Tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga
masyarakat.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI
Wacana masyarakat madani merupakan konsep yang
berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang
mengalami proses trasnformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan
masyarakat industri kapasitas jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka
perkembangan wacana masyarakat madani dapat diruntut mulai dari Ciero sampai
Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan
Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada
masa Aristoteles. Pada masa Aristoteles, 384-322 SM, masyarakat madani dipahami
sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike,
yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini degunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos,
yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur
politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan (virtue) dari
berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus
Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Terma yang dikedepankan oleh
Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada
sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan
Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki
kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut
Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan
dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani
tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa
dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi setiap warga
negara untuk memperoleh haknya secra adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini
dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan
politik skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi
perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya
kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan
konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi
munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas
sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi
serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1792, munculnya wacana
masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya.
Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah
masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara
diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara.
Dengan demikian maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia
merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani
menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain
masyarakat, dimana interpensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak
sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebih
kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya
dikembangkan oleh .G.W.F. Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan
Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh
ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas domain.
Pemahaman ini lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang dilakukan Paine
(yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara.
Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat
borjuasi Eropa (burgerlische gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai
dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara.
Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi
atas 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga
merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan dan golongan terutama kepentingan
ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas
melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi
terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap
wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara sekali
lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara politik bisa
berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada kenyataannya
tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan
keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada intuisi
yang lebih tinggi, yakni negara. Karenanya, negara dan masyarakat madani
merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani
sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis,
keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan.
Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi
produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat
madani pada basis material, maka Gramsci meletakkan pada superstruktur,
berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society.
Masyarakat madani merupakan aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk
membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada
kekuatan cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial
dan politik. Gramsci dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan
politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat
dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani
dikembangkan oleh alexis de ‘Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada
pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani
sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de ‘Tocqueville, kekuatan politik
dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya
tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di
dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol
kekuatan negara.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegelian,
paradigma Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai
sesuatu yang tidak apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat otonom dan
memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan
penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensionis
negara. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negara serta pada saat
yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflektive-force) untuk
mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat formasi sosial
modern. Masyarakat madani tidak hanya beriorentasi pada kepentingan individual,
tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat
madani di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi
gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa
80-an. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah tersebut membuktikan bahwa justru
dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka.
Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan
untuk membangun harga diri sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat
madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari
cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan
kemandirian masyarakat.
Three-Sector
Model Relationship
Among Sectors
Note:
The Essence of State Coercion
Konsep ini diperkuat lagi dengan opini Hannah
Arrendt dan Juergen Habermas yang menekankan ruang publik yang bebas (the
free public sphere). Karena adanya ruang publik yang bebslah, maka individu
(warga negara) dapat berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam
menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan
yang berkenaan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Dan institusionalisasi
dari ruang publik ini adalah ditandai dengan lembaga-lembaga volunteer,
media massa, sekolah, partai politik, sampai pada lembaga yang dibentuk oleh
negara tetapi berfungsi sebagai lembaga pelayanan masyarakat.
C. KARASTERISTIK
MASYARAKAT MADANI
Penyebutan karakteristik masyarakat madani
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat
madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai iniversal dalam
penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain
atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang
integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani. Karakteristik
tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Free Public
Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere
adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengembangkan
pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara
mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalai
distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat dikemukakan oleh Arendt dan
Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa
diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan politik. Warga negara berhak melakukan kegiatan
secra merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk
mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat
madani, maka akan memungkinkan terjadinya aspirasinya yang berkenaan dengan
kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis
Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi
penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga
negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya,
etrmasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat
dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan msyarakat sekitarnya
dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini
banyak dikemukakan oleh para pakar yang engkaji fenomena masyarakat madani.
Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegak masyarakat
madani. Penekanan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk
aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan
sebagainya.
3. Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan
dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan
menghormati aktivitas yang dilakukakan oleh orang lain. Toleransi ini
memungkinakan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghsrgsi dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid “merupakan persoalan
ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan
adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda, maka hal itu harus dipahami sebagai “himah” atau “manfaat” dari
pelaksanan ajaran yang benar”.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat
madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi.
Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun
(civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan
individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial
yang berbeda.
4. Pluralisme
Sebagai sebuah prasyarat penegak masyarakat
madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan
sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap
mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai
dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai
bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme
ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya
adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine
engagement of diversities within the bonds of sivility). Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia anatara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balances).
Selanjutnya Nurcholish mengatakan bahwa sikap
penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang
majemuk, yakni masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungghunya kemajuan
masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk
manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun
dalam segala segi.
5. Keadilan Sosial
(Social Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan
pembagian yang profesional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kegidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli
dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara
esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Selain ciri-ciri yang
telah dikemukakan di atas, masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal juga
memiliki karakteristik, sebagai berikut :
1.
Bertuhan
Bertuhan artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,
yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai
landasan yang mengatur kehidupan social. Manusia secara universal mempunyai
posisi yang sama menurut fitrah kebebasan dalam hidupnya,sehingga komitmen
terhadap kehidupan social juga dilandasi oleh relativitas manusia di hadapan
Tuhan. Landasan hukum Tuhan dalam kehidupan social itu lebih objektif dan adil,
karena tidak ada kepentingan kelompok tertentu yang diutamakan dan tidak ada
kelompok lain yang diabaikan .
2.
Damai
Damai artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil. Kelompok social mayoritas
hidup berdampingan dengan kelompok minoritas sehingga tidak muncul kecemburuan
social. Kelompokyang kuat tidak menganiaya kelompok yang lemah, sehingga
tirani kelompok minoritas dan anarki mayoritas dapat dihindari.
3.
Tolong menolong
Tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya. Prinsip tolong menolong antar anggota masyarakat didasarkan pada
aspek kemanusiaan karena kesulitan hidup yang dihadapi oleh sebagian anggota
masyarakat tertentu, sedangkan pihak lain memiliki kemampuan membantu untuk
meringankan kesulitan hidup tersebut.
4.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial
Setiap anggota masyarakat memiiki hak dan kewajiban yang seimbang untuk
menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keutuhan masyarakat sesuai dengan
kondisi masing-masing. Keseimbangan hak dan kewajiban itu berlaku pada seluruh
aspek kehidupan social, sehingga tidak ada kelompok social tertentu yang
diistimewakan dari kelompok social yang lain sekedar karna ia mayoritas.
5.
Berperadaban Tinggi
Berperadaban tinggi artinya, masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk
kemaslahatan hidup manusia. Ilmu pengetahuan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan memberi kemudahan umat
manusia. Ilmu pengetahuan memberi kemudahan dan meningkatkan harkat
martabat manusia, disamping memberikan kesadaran akan posisinya sebagai
khalifah Allah. Namun,disisi lain ilmu pengetahuan juga bisa menjadi ancaman
yang membahayakan kehidupan manusia, bahkan membahayakan lingkungan hidup bila
pemanfaatannya tidak disertai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
6.
Berakhlak Mulia
Sekalipun pembentukan akhlak masyarakat dapat dilakukan berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan semata, tetapi realitivitas manusia dapat menyebabkan
terjebaknya konsep akhlak yang relative.sifat subjectife manusia sering sukar
dihindarkan. Oleh karena itu, konsep akhlak tidak boleh dipisahkan dengan
nilai-nilai ketuhanan,sehingga substansi dan aplikasinya tidak terjadi
penyimpangan. Aspek ketuhanan dalam aplikasi akhlak memotivasi manusia untuk
berbuat tanpa menggantungkan reaksi serupa dari pihak lain.[1]
D. PILAR PENEGAK
MASYARAKAT MADANI
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat
madani adalah institusi-insitusi yang menjadi bagian dari social control
yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif
serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan
masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain:
1. Lembaga Swadaya
Masyarakat
Lembaga Swadaya
Masyarakat adalah intstuisi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang
tugas esensinya adalah membantu dan memperjuankan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks masyarakat madani juga
bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai
hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi,
pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2. Pers
Pers merupakan
institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena
memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control
yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warganegaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada
adanya independensi pers pers serta mampu menyajikan berita secara objektif dan
transparan.
3. Supermasi Hukum
Setiap warga
negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintah maupun sebagai rakyat, harus
tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk
mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan antar warga negara dengan
pemerintah haruslah dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Selain itu,
supermasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk
penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala
bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
4. Perguruan
Tinggi
Perguruan
tinggi yakni di mana civitas akademiknya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian
dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral
force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai
kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa
tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan
realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
Sebagai bagian
dari pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama
mencari dan menciptakan ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Di sisi lain Perguruan Tinggi
memiliki “Tri Dharma Perguruan Tinggi” yang harus dapat diimplementasikan
berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki 3
(tiga) peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani, yakni :
1.
Pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarisme yang
menjadi dasar kehidupan politik demokratis.
2.
Membangun political safety net, yakni dengan
mengembangkan dan memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
3.
Melakukan tekanan terhadap ketidak adilan dengan cara
yang santung, saling menghormati, demokratis serta meninggalkan cara-cara yang
agitatif dan anarkis.
5. Partai Politik
Partai politik merupakan wahana nagi warga
negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi
politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah
tempat ekspresi politik warganegara, maka partai politik ini menjadi prasyarat
bagi tegaknya masyarakat madani.
E. MASYARAKAT
MADANI DAN DEMOKRATISASI
Dalam masyarakat madani, warga negara
bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama (public
good). Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada
independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah
kemudian masyarakat madani dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan
demokrasi dan demokratisasi.
Masyarakat madani juga dipahami sebagai sebuah
tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warga negara
dengan negara atas dasar prinsip saling menghormati. Masyarakat madani
berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara
warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan
berprilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan
juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara
sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama (Ramlan Surbaki; 1995).
Menurut Dawam hubungan antara masyarakat
madanpati dengan demokrasi (demokratisasi), bagaikan dua sisi mata uang,
keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah
demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil
society dapat berkembang secara wajar.
Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid pun
memberikan metafor tentang hubungan dan keterkaiatan antara masyarakat madani
dengan demokratisasi ini. Menurutnya masyarakat madani merupakan “rumah”
persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahsiah. Namun
demokrasi tidak hanya tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi
harus mempunyai “rumah”, maka rumahnya adalah masyarakat madani.
Begitu kuatnya kaitannya antara masyarakat
madani dengan demokratisasi, sehingga masyarakat madani kemudian dipercaya
sebagai “obat mujarab” bagi demokratisasi, terutama di negara yang demokrasinya
mengalami keganjalan akibat kuatnya hegemoni negara. Tidak hanya itu,
masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara pandang untuk memahami
unoversalitas fenomena demokratisasi di berbagai kawasan dan negara.
Menurut Larry Diamond dalam menyikapi
keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi ini secara sistematis ada 6
(enam) konstribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi, yaitu :
1.
ia menyediakan wahana untuk mengawasi dan menjaga sumber
daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan
pejabat negara,
2.
pluralisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan
menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis,
3.
memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan,
4.
ikut menjaga stabilitas negara,
5.
tempat menggembleng pimpinan politik, dan
6.
menghalangi dominasi otoriter dan mempercepat runtuhnya
rezim.
Lebih jauh Diamond menegaskan bahwa suatu
organisasi betapapun otonomnya jika ia diinjak-injak prosedur demokrasi seperti
toleransi, kerjasama, tanggung jawab, keterbukaan dan saling percaya, maka
organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana demokrasi.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat
dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrsi diperlukan strategi
penguatan civil society lebih ditujukan ke arah pembentukan negara
secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratispartisipatoris,
reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol atas
kecenderungan eksesif negara. Dalam masyarakat madani, warga negara disadrkan
posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol pelaksanaan
kekuasaan yang mengatasnamakan rakayat. Gagasan seperti ini mensyaratkan adanya
ruang publik yang bebas, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani
memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan kemampuannya dalam
pengelolaan wilayah.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu
direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Hak
warga negara untuk berpartisipasi dalam organisasi politik harus dijamin,
karena dengan partisipasi itu, mereka dapat ikut memberikan konstribusi dan
mempengaruhi hasil keputusan yang boleh jadi keputusan itu mempengaruhi
kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam masyarakat madani terdapat nilai-nilai
universal tentang pluralisme yang kemudian menghilankan segala bentuk
kecenderungan partikulrisme dan sekterianisme. Hal ini dalam proses demokrasi
menjadi elemen yang sangat signifikan, di mana masing-masing individu, etnis
dan golongan mampu menghargai kebhinekaan dn menghormat setiap keputusan yang
diambil oleh salah satu golongan atau individu. Menurut Hikam, dalam masyarakat
madani tidak hanya kecenderungan partikularisme dan sektarianisme saja yang
harus dihadapi tetapi juga totalisme dan uniformisme itu ditolak. Karenanya ia
menghargai kebebasan individu namun juga menolak anarkisme, memperjuangkan
kebebasan berekspresi namun juga menurut adanya tanggung jawab etik, menolak
intervensi negara tetapi juga memerlukan negara sebagai pelindung dan penangkal
konflik baik internal maupun eksternal.
Pada dasarnya dalam proses penegakan demokrasi
(demokratisasi) secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan
kekuatan masyarakat madani, sebab ia bukan “penyelesai” tunggal di tengah kompleksitas
problematika demokrasi. Masyarakat madani lebih bersifat komplementer dari
berbagai strategi demokrasi yang selama ini menekankan pada formulasi dari
“atas”, dengan bentuk institusionalisasi lembaga-lembaga politik, distribusi
kekuatan pemerintah, perwakilan berbagai golongan dan sebagainya. Sedangkan
masyarakat madani lebih merupakan strategi yang berporos pada lapisan “bawah”,
yakni dengn bentuk pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil.
Selain itu, sebagai bagian dari strategi dari
demokratisasi, masyarakat madani memiliki perspektif sendiri dalam perjuangan
demokrasi dan memiliki spektrum yang luas dan berjangka panjang. Dalam
perspektif masyarakat madani demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi
diametra dan antitesa negara, melainkan bergantung pada situasi dan kondisinya.
Ada saatnya demokratisasi melalui masyarakat madani harus garang dan keras
terhadap pemerintah, namun ada saatnya masyarakat madani juga harus ramah dan
lunak.
Jhon Keane mengiklustrasikan bahwa masyarakat
madani bukanlah musuh negara juga bukan sahabat kental kekuasaan negara.
Tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara,
tetapi juga tidak bisa dibangun tanpa kekusaan negara, sebab jika legitimasi
kekuasaan runtuh, masyarakat madani pun terncam mengalami pragmentasi. Lebih
jauh Azyumardi Azra mengatakan bahwa masyarakat madani lebih dari sekedar
gerakan pro-demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu pada kehidupan asyarakat
yang berkualitas dan tamaddun (civility). Dengan nada serupa, Henningsen
mengungkapkan bahwa masyarakat madani bukanlah sekedar gerakan anti-totaliter,
tetapi lebih merefleksikan fungsi kebaikan masyarakat modern (a well
fuctioning modern society).
Jadi, membicarakan hubungan demokrasi dengan
masyarakat madani merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif
dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahwa berbicara
mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara tentang interaksi antara
negara dan masyarakat madani. Asumsinya adalah, jika masyarakat madani vis a
vis negara relatif kuat maka demokrasi akan tetap berlangsung. Sebaliknya,
jika negara kuat dan masyarakat madani lemah maka demokrasi tidak berjalan.
Dengan demikian, demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan masyarakat
madani.
Lebih lanjut Arief mengatakan bahwa proses
pemberdayaan tersebut akan terjadi jika:
1.
apabila berbagai kelompok masyarakat dalam masyarakat
madani mendapat peluang untuk lebih banyak berperang, baik pada tingkat negara
maupun masyarakat.
2.
jika posisi kelas tertindas berhadapan dengan kelas yang
dominan menjadi lebih kuat yang berarti juga terjadinya proses pembebasan
rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Berkaitan dengan demokratisasi ini, maka
menurut M. Dawam Raharjo ada beberapa asumsi yang berkembang, yaitu :
1.
demokratisasi bisa berkembang apabila masyarakat madani
menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri,
melalui perlawanan terhadap negara ataupun melalui proses pemberdayaan
(termasuk oleh pemerintah).
2.
demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan
negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektifitas dan efesiensi
institusi melalui interaksi, perimbanan dan pembagian kerja yang saling
memperkuat antara negara dan pemerintah sendiri.
3.
demokratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan
kemandirian atau independensi masyarakat madani dari tekanan dan kooptasi
negara.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Pengertian masyarakat madani, menurut:
-
Zbigniew Rau, masyarakat madani adalah
sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekekuasaan negara.
-
Han Sung-joo, masyarakat madani
merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak
dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbatas dari negara.
-
Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah
suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun
dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakatyang secara relative otonom dari
negara.
2.
Masyarakat madani mempunyai
karakteristik yaitu:
-
free public sphere
-
demokratis
-
toleran
-
pluralisme
-
berkeadilan sosial
3.
Pilar penegak masyarakat madani, yaitu:
-
lembaga swadaya masyarakat
-
supermasi hukum
-
perguruan tinggi
-
partai politik
4.
Menurut Dawam hubungan antara masyarakat madanpati dengan
demokrasi (demokratisasi), bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat
ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat
ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society
dapat berkembang secara wajar.
5.
Menurut Larry Diamond dalam menyikapi keterkaitan
masyarakat madani dengan demokratisasi ini secara sistematis ada 6 (enam)
konstribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi, yaitu :
-
ia menyediakan wahana untuk mengawasi dan menjaga sumber
daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga
keseimbangan pejabat negara,
-
pluralisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan
menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis,
-
memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan,
-
ikut menjaga stabilitas negara,
-
tempat menggembleng pimpinan politik, dan
-
menghalangi dominasi otoriter dan mempercepat runtuhnya
rezim.
B.
SARAN
Dalam era reformasi itu kita perlu melakukan kaji ulang dan wacana baru
dengan mempertimbangan faktor-faktor yang menjadi kecenderungan nasional,
regional, dan global, seperti meningkatnya peranan pasar, perampingan peranan
negara dan perlunya pemberdayaan lembaga-lembaga civil society dan
gerakan sosial baru (new social movement).
Wacana masyarakat madani agaknya berbeda dengan wacana civil society
yang berkembang di Barat, walaupun konsep civil society itu menjadi
rujukan penting. Namun harus diingat, bahwa wacana civil society itu
sendiri, baik di negara-negara industri maju maupun di Dunia Ketiga, masih
terus berlangsung dalam konteks baru. Oleh karena itu, masyarakat madani yang
sedang dipikirkan di Indonesia ini merupakan wacana yang tebuka.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani,Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 1999, cet. ke-1
Budiman, Arief. State and Civil Society. Clayton: Monash Paper
Southeast Asia No. 22 tahun 1990
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil
Society, Jakarta: LP3ES, 1999, cet. ke-2
Madjid, Nurcholish, Makalah Asas-asas
Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani
Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1999 cet. ke-1
Rizal dan J. Kristiadi. Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi
di Indonesia: Presepsi Sipil dan
Militer, Jakarta: CSIS, 1999, cet. I
Usman, Widodo, dkk., (ed.) Membongkar Mitos Masyarakat Madani,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 cet. ke-1
http//Jasmanblogspot.com,Masyarakat%20Madani/konsep-masyarakat-madani.html
[1] http//Jasmanblogspot.com,Masyarakat%20Madani/konsep-masyarakat-madani.html diunduh pada tanggal 18/11/2011 jam 10:02
Roulette | Live Casino Site - LuckyClub
BalasHapusPlay Roulette from Roulette for free. The Roulette wheel has several different ways of playing, luckyclub.live including a ball wheel, an ante card, and a